Lahir di Semarang pada 11 April 1969, Ilma Nugrahani tumbuh sebagai sosok yang memesona, baik dari segi rupa maupun kecerdasan. Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak yang tekun, cerdas, dan memiliki semangat belajar yang tinggi. Di sela-sela kesibukannya sebagai pelajar, Ilma juga dikenal memiliki bakat seni, terutama dalam bidang tarik suara. Hobinya bernyanyi kerap menjadi pelipur lara dan sumber keceriaan bagi orang-orang di sekitarnya.
Pendidikan menengah ia tempuh di SMA Negeri 3 Semarang, sebuah sekolah unggulan yang semakin menempa kedisiplinan dan intelektualitasnya. Selepas SMA, Ilma melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB), sebuah langkah besar yang kelak menjadi fondasi karier ilmiahnya. Di kampus itulah ia bertemu dengan sosok yang kelak menjadi pasangan hidupnya—Ismail. Pertemuan mereka bukan di ruang kuliah atau perpustakaan, melainkan di pelataran Masjid Salman ITB, sebuah tempat yang menjadi saksi awal hubungan yang suci dan penuh makna. Pertemuan itu begitu sederhana namun sarat akan keindahan dan kehangatan spiritual.
Ilma dan Ismail memutuskan untuk menikah pada bulan September 1991, saat keduanya masih berstatus mahasiswa tingkat akhir. Sebuah keputusan berani di usia muda yang kemudian terbukti sebagai fondasi dari perjalanan rumah tangga yang kokoh dan penuh keberkahan. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai enam orang anak yang menjadi sumber kebahagiaan sekaligus motivasi bagi keduanya dalam menapaki kehidupan.
Ilma bukan hanya pasangan hidup, tetapi juga sahabat seperjuangan bagi Ismail. Ia menemani Ismail sejak masa-masa sulit, ketika sang suami masih mengajar les privat dari rumah ke rumah demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia menyaksikan setiap langkah dan kerja keras Ismail dalam membangun karier, hingga akhirnya kini menduduki posisi bergengsi sebagai Sekretaris Jenderal di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Kesetiaan dan dukungan Ilma menjadi pilar penting di balik setiap keberhasilan yang diraih suaminya.
Tidak hanya aktif di bidang akademik, Ilma juga turut berperan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Ia menjabat sebagai Ketua Dharma Wanita Komdigi, sebuah posisi yang ia jalani dengan semangat dan dedikasi tinggi. Dalam perannya tersebut, Ilma aktif mensosialisasikan pentingnya literasi dan transformasi digital bagi perempuan, mendorong kaum ibu dan perempuan Indonesia agar melek teknologi dan mampu berdaya di era digital.
Meski memiliki banyak tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga, Ilma tidak pernah mengabaikan impiannya di bidang pendidikan dan keilmuan. Ia melanjutkan studi magister di Fakultas Farmasi Universitas Indonesia (UI), dan kemudian kembali ke almamaternya, ITB, untuk menempuh program doktoral di bidang yang sama. Konsistensinya dalam riset dan akademik membawanya menjadi dosen tetap di Sekolah Farmasi ITB, tempat ia membina generasi demi generasi calon apoteker dan ilmuwan farmasi.
Perjuangan panjang dan dedikasi tanpa henti itu akhirnya membuahkan pengakuan tertinggi di dunia akademik. Pada tahun 2025, Ilma resmi menyandang gelar Profesor dalam bidang farmasi di ITB. Ia telah mempublikasikan puluhan artikel ilmiah di jurnal-jurnal internasional terindeks Scopus, bahkan banyak di antaranya masuk dalam kategori Q1, menunjukkan kualitas dan dampak risetnya yang sangat tinggi.
Kini, di samping tetap aktif dalam kegiatan akademik, sosial, dan penelitian, Ilma juga menikmati perannya sebagai nenek dari tiga cucu yang lucu dan menggemaskan. Hidupnya adalah potret ketekunan, cinta, dan keberanian seorang perempuan yang tak pernah berhenti belajar, mencinta, mengabdi—dan memberi inspirasi.